HAKIKAT MANUSIA DAN PENDIDIKAN
A.
PENGERTIAN HAKIKAT MANUSIA
Manusia
adalah makhluk bertanya, ia mempunyai hasrat untuk mengetahui segala sesuatu.
Atas dorongan hasrat ingin tahunya, manusia tidak hanya bertanya tentang
berbagai hal yang ada di luar dirinya, tetapi juga bertanya tentang dirinya
sendiri. Manusia memiliki daya psikis cipta, rasa dan karsa yang memungkinkan
ia untuk mengenal dunia sekelilingnya dan lebih dari itu, mengenal dirinya
sendiri.
Dengan
daya-daya psikisnya, manusia mampu menghadapi setiap persoalan kehidupannya.
Apakah persoalan yang bersangkutan dengan diri sendiri, orang lain secara
individual dan sosial, yang bersangkutan dengan alamnya, ataukah bersangkutan
dengan Sang Penciptanya.
Dalam
kehidupan yang riil manusia menunjukkan keragaman dalam berbagai hal, baik
tampilan fisiknya, strata sosialnya, kebiasaannya, bahkan pengetahuan tentang
manusia pun bersifat ragam sesuai pendekatan dan sudut pandang terhadap
manusia. Namun demikian, dibalik keanekaragamannya itu terdapat beberapa hal
yang menunjukkan kesamaan di antara semua manusia, bahwa semua manusia adalah
makhluk ciptaan Tuhan, merupakan kesatuan badan dan ruh, merupakan makhluk
individu sekaligus makhluk sosial, makhluk berbudaya, dan makhluk beragama.
Berbagai
kesamaan tersebut di atas, disebut pula sebagai hakikat manusia. Kesamaan
tersebut merupakan karakterisrik esensial manusia yang menyebabkan manusia
mempunyai martabat khusus sebagai manusia. Jadi, hakikat manusia berkenaan
dengan “prinsip adanya” manusia.
B.
ASPEK-ASPEK HAKIKAT MANUSIA
1.
Manusia sebagai Makhluk Tuhan
Manusia
adalah subjek yang memiliki kesadaran (consciousness)
dan penyadaran diri (Self-awareness). Dengan kesadaran dan penyadaran dirinya ini,
manusia memiliki kemampuan untuk mengarahkan daya cipta, rasa dan karsanya
untuk memahami eksistensinya, dari mana sesungguhnya segala sesuatu, termasuk
dirinya sendiri, dan kemana tujuan kehidupan ini.
Manusia
sebagai makhluk Tuhan adalah makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial, susila,
dan religius. Sifat kodrati manusia sebagai makhluk pribadi, sosial, susila,
dan religius harus dikembangkan secara seimbang, selaras, dan serasi. Perlu
disadari bahwa manusia hanya mempunyai arti dalam kaitannya dengan manusia lain
dalam masyarakat. Manusia mempunyai arti hidup secara layak jika ada diantara
manusia lainnya. Tanpa ada manusia lain atau tanpa hidup bermasyarakat,
seseorang tidak dapat menyelenggarakan hidupnya dengan baik. Guna meningkatkan
kualitas hidup, manusia memerlukan pendidikan, baik pendidikan yang formal,
informal maupun nonformal.
Manusia adalah mahluk paling sempurna yang pernah
diciptakan oleh Tuhan. Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan suatu
konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah di muka bumi ini. Manusia
sebagai makhluk Tuhan secara kodrati dianugerahi hak dasar yang disebut hak
asasi, tanpa perbedaan antara satu dengan lainya. Dengan hak asasi tersebut,
manusia dapat mengembangkan diri pribadi, peranan, dan sumbangannya bagi
kesejahteraan hidup manusia.
2.
Manusia sebagai Kesatuan Badan-Ruh
Badan
manusia terbentuk dari unsur-unsur tanah bumi. Jiwa terbentuk karena sebagian
ruh Tuhan ditiupkan ke badan. Ruh adalah “sebagian” dari sifat-sifat ketuhanan.
Walaupun manusia adalah bagian dari alam semesta, tetapi manusia berbeda dari
alam itu sendiri. Manusia memiliki jiwa dan ruh.
Ruh
adalah substansi yang kualitasnya tidak berubah-ubah. Sedangkan jiwa adalah
substansi yang kualitasnya dapat berubah-ubah, dapat menjadi lebih baik atau
menjadi lebih buruk.
Dalam
ilmu kedokteran, jiwa disebut sebagai bioplasma atau tubuh energial dan
perilaku dan karakteristiknya dapat dipelajari, bisa disembuhkan ketika sedang
sakit, bisa diukur dengan parameter-parameter tertentu. Sementara ruh adalah
substansi yang misterius dan sulit diukur, yang berada di balik badan dan jiwa
sekaligus.
Berdasarkan
hal tersebut di atas, esensi diri manusia adalah jiwanya, jiwa memiliki
kedudukan lebih tinggi daripada badan. Dalam hubungannya dengan badan, jiwa
berperan sebagai pemimpin badan, jiwalah yang mempengaruhi badan karena itu
badan mempunyai ketergantungan kepada jiwa. Jiwa adalah asas primer yang
menggerakkan semua aktivitas manusia, badan tanpa jiwa tiada memiliki daya.
Meski
manusia merupakan perpaduan dua unsur yang berbeda, ruh dan badan, namun ia
merupakan pribadi yang integral, artinya manusia itu kesatuan badani-rohani.
Sebagai kesatuan badan-rohani, manusia hidup dalam ruang dan waktu, sadar akan
dirinya dan lingkungannya, mempunyai berbagai kebutuhan, insting, nafsu serta,
mempunyai tujuan. Selain itu, manusia mempunyai potensi untuk beriman dan
bertakwa kepada Tuhan dan potensi untuk berbuat baik atau sebaliknya. Adapun
dalam eksistensinya manusia memiliki aspek individualitas, sosialitas,
moralitas, keberbudayaan dan keberagamaan. Implikasinya maka manusia itu berinteraksi
atau berkomunikasi, memiliki historitas dan dinamika.
3.
Manusia sebagai Makhluk Individu
Manusia
menyadari keberadaan dirinya sendiri. Kesadaran manusia akan dirinya sendiri
merupakan perwujudan individualitas manusia. Sebagai individu, manusia adalah
satu kesatuan yang tak dapat dibagi, memiliki perbedaan dengan manusia lainnya
sehingga bersifat unik, dan merupakan subjek yang otonom. Sebagai individu,
manusia adalah kesatuan yang tak dapat dibagi antara aspek badania dan
rohaniahnya. Manusia bukan hanya badan, sebaliknya bukan hanya roh.
Manusia individu
adalah Subyek yang mengalami kondisi manusia. Ini dikaitkan dengan
lingkungannya melalui indera mereka dan dengan masyarakat melalui kepribadian
mereka, jenis kelamin mereka serta status sosial.
Selama kehidupannya, ia berhasil melalui tahap bayi, kanak-kanak,
remaja,
kematangan dan usia
lanjut. Deklarasi universal
untuk hak asasi diadakan untuk melindungi hak masing-masing individu.
Walaupun
manusia adalah makhluk individu, manusia itu adalah makhluk yang bergantung
kepada suatu yang lain (Tuhan), sehingga mendasarkan diri sendiri atas salah
satu kepercayaan atau agama.
Sebagai
makhluk individu, manusia memiliki harga diri dan unik, artinya berbeda dengan
setiap orang lain dalam segala hal dan tidak dapat ditukar dengan harga diri
orang lain, sekalipun dengan orang yang lebih tinggi status sosialnya.
4.
C.
Mustofa, Agus. 2007. Bersyahadat di dalam Rahim. Jakarta:
Padma.
Suhartono, Suparlan. 2003. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Makassar:
Universitas Negeri Makassar.
Wahyuddin, Dinn. Dkk., 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta:
Universitas Terbuka.
0 comments:
Post a Comment