Total Pageviews

Saturday, 13 July 2013

COMMUNITY LANGUAGE LEARNING



PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS 
MELALUI COMMUNITY LANGUAGE LEARNING

Ahmad Juanda, S.Pd., M.Pd.
Guru SMA Negeri 1 Galesong Selatan

                                                                                                                                             
A.    Pendahuluan
Community Language Learnign (CLL), tumbuh dari suatu ide untuk menerapkan konsep psikoterapi dalam pengajaran bahasa. Dari berbagai hasil penelitian dilaporkan bahwa pendekatan ini telah mencapai hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pendekatan pengajaran yang konvensional.
Para ahli pendekatan ini beranggapan bahwa pada waktu seseorang terjun ke dalam suatu arena yang baru seperti proses belajar bahasa Inggris dia sebagai manusia dikodrati dengan berbagai ciri manusiawi pada umumnya. Dalam lingkungan yang baru di mana dia merasa asing, dia dihinggapi oleh rasa tak aman (insecurity), rasa keterancaman (threat), rasa ketidakmenentuan (anxiety), konflik dan berbagai perasaan lain yang secara tak tersadari menghalang-halangi dia untuk maju.
Tugas utama seorang guru, yang dalam pendekatan ini disebut dengan istilah konselor, adalah menghilangkan atau paling tidak mengurangi segala perasaan negatif para siswanya. Seorang guru dituntut untuk memiliki sikap yang fasilitatif, baik dalam menularkan pengetahuannya maupun dalam menolong para siswa maju dari satu tahap ke tahap yang lain. Sikap ramah-tamah, penuh pengertian, mengiakan, dan mendukung merupakan kualifikasi yang harus dimiliki oleh setiap guru.
Dalam tulisan ini, penulis memaparkan model pembelajaran berdasarkan pendekatan atau metode community language learning dengan harapan memperkaya wawasan pembaca terutama guru bahasa Inggris sehingga dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran bahasa Inggris yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

B.     Community Language Learning
Prinsip dasar CLL adalah guru mengganggap siswanya sebagai ―whole person/ pribadi menyeluruh. Whole-person learning maksudnya adalah guru tidak hanya mempertimbangkan perasaan dan kepandaian siswa, tetapi juga mempunyai pemahaman tentang perasaan siswa, reaksi fisik, reaksi protektif instingtif, dan keinginan untuk belajar.
Dalam pendekatan ini, ada enam konsep yang diperlukan untuk menumbuhkan ”Learning”. Enam konsep ini dicakup dalam satu singkatan, SARD, yang kepanjangannya adalah Security, Attention-Aggression, Retention-Reflection, dan Discrimination.
Security adalah rasa aman pada diri siswa, yang dalam pendekatan ini disebut dengan istilah klien, maupun pada diri guru. Rasa aman bisa ditemukan apabila rekan sekelas beserta konselornya menunjukkan sikap kegotongroyongan dan memberikan kepercayaan kepadanya.
Attention-Aggression adalah mencari keseimbangan antara guru dalam membina perhatian dan siswa dalam berperan aktif dalam proses pembelajaran.
Retention dan reflection adalah proses pencerminan diri untuk mengetahui sampai sejauh mana para siswa telah menguasai materi pelajaran dan masalah-masalah apa yang timbul dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini ada dua macam refleksi, yaitu refleksi teks dan refleksi pengalaman. Kedua proses refleksi ini dilakukan pada tiap akhir pembelajaran.
Dalam refleksi teks para siswa mendengarkan kembali percakapan yang telah mereka lakukan beberapa menit atau jam sebelumnya untuk merenungkan dan mencamkan kembali arti dan signifikan dari kalimat maupun frase yang telah mereka buat.
Refleksi pengalaman dimaksudkan untuk mengeluarkan dari lubuk hati segala permasalahan psikologis yang dialami tiap siswa selama kelas sebelumnya berlangsung. Dalam pertemuan seperti ini guru dituntut untuk bisa memberikan bimbingan dan pengarahan psikologis yang akan membawa siswa ke arah yang positif.
Discrimination adalah tahap dimana kesalahan-kesalahan ucapan, ungkapan, maupun sintaksis tidak perlu dipermasalahkan yang terpenting terjadi komunikasi dimana pendengar dapat memahami maksud dari pembicara.
Tujuan penggunaan metode ini agar siswa belajar bagaimana menggunakan bahasa target secara komunikatif. Siswa juga belajar bagaimana belajar sendiri dan bertanggung jawab untuk hal ini, dan belajar bagaimana belajar bersama orang lain. Peran utama guru adalah sebagai konselor, artinya guru mengenali bagaimana ancaman situasi belajar yang baru dapat terjadi pada siswa, sehingga guru dapat memahami dan memberi dukungan untuk siswanya dalam usahanya menguasai bahasa.

C.    Tahap-Tahap Penguasaan CLL
Ada lima tahap penguasaan dalam pendekatan CLL, yakni Embryonic Stage, Self-Assertion Stage, Birth Stage, Reversal Stage, dan Independent Stage.
Embryonic Stage adalah suatu tahap di mana ketergantungan siswa pada gurunya sangat besar. Pada tahap ini, guru bertugas menghilangkan atau mengurangi perasaaan-perasaan negatif siswa dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan yang layak. Guru menjelaskan aktivitas apa yang diharapkan dan memberi waktu kepada siswa untuk merefleksikan dirinya mengenai pengalamannya.
Self-Assertion Stage adalah tahap di mana siswa telah memperoleh dukungan moral dari rekan sekelasnya untuk bersama-sama memakai bahasa Inggris dan menemukan identitas sebagai penutur bahasa itu. Pada tahap ini siswa telah mulai berani sedikit-sedikit melepaskan diri dari gurunya dan memakai bahasa Inggris langsung dengan teman-teman lainnya.
Birth Stage adalah tahap di mana siswa secara bertahap mulai mengurangi pemakaian bahasa ibunya. Dia telah mulai merasakan kebiasaan dia dalam memakai bahasa Inggris dan hal ini menimbulkan adanya rasa aman di antara sesama mereka.
Reversal Stage adalah tahap di mana hubungan siswa dengan gurunya telah mencapai taraf saling percaya. Masing-masing tidak lagi merasa adanya hambatan psikologis, dan rasa saling percaya ini terdapat pula di antara sesama siswa lainnya. Pada tahap keempat ini, siswa tidak lagi banyak diam pada waktu diadakan pertemuan pembelajaran seperti pada tahap pertama, tetapi lebih aktif dalam percakapan-percakapan yang hidup.
Independent Stage adalah tahap di mana siswa telah menguasai semua materi pembelajaran. Pada tahap ini siswa memperluas bahasanya Inggrisnya dan mempelajari pula aspek-aspek sosial dan budaya dari para penutur asli.

D.    Teknik Pelaksanaan CLL
Karena dalam CLL hubungan antara siswa dengan guru adalah hubungan terapeutik antara seorang klien dengan konselornya maka bentuk kelas dan proses pembelajarannya pun berbeda dengan kelas dan cara yang konvensional. Dalam CLL yang dianjurkan adalah tiap kelas terdiri dari enam sampai dua belas klien, dan tiap klien mempunyai seorang konselor. Pengaturan meja dan kursi dibuat sedemikian rupa sehingga terbentuklah semacam lingkaran. Konselor berada di belakang klien. Pengaturan lain bisa pula dilakukan dengan, misalnya konselor berada di ruang lain dan dihubungkan dengan tiap klien melalui media elektronik.
Dalam CLL tidak dipakai suatu teks apapun. Para klien datang untuk memulai kelasnya dengan duduk melingkari meja dan mereka bebas untuk memilih topik apa saja yang akan mereka bicarakan hari itu.
Pada akhir pembelajaran, rekaman pembicaraan diperdengarkan untuk direnungkan dan dihayati. Pada saat ini pula diadakan konseling oleh para konselor.
Pada kelas berikutnya klien menentukan lagi topik yang akan mereka bicarakan, dan demikian seterusnya. Dalam CLL dipergunakan alat peraga, tetapi alat ini bukan hanya sekedar untuk melatih drill dan latihan-latihan lainnya melainkan untuk mempertinggi rasa percaya pada diri sendiri.
Dengan kata lain communicative language learning merupakan penggabungan dari belajar inovatif dengan belajar konvensional yakni:
1. Terjemahan. Siswa membisikan pesan yang ia akan ucapkan, guru menerjemahkan ke dalam bahasa target dan pelajar mengulangi terjemahan guru.
2. Kelompok Kerja. Siswa dapat terlibat dalam tugas-tugas kelompok seperti diskusi kelompok dengan satu topik, menyiapkan percakapan, menyiapkan ringkasan topik untuk presentasi ke kelompok lain, menyiapkan sebuah cerita yang akan disajikan kepada guru dan seluruh siswa.
3. Merekam. Siswa merekam percakapan dalam bahasa target.
4. Transkripsi. Siswa menuliskan ucapan-ucapan dan percakapan mereka lalu direkam untuk dipraktekkan dan menganalisis bentuk-bentuk linguistic.
5. Analisis. Siswa menganalisis dan mempelajari transkripsi kalimat bahasa target untuk difokuskan pada penggunaan leksikal tertentu atau pada penerapan aturan tata bahasa tertentu.
6. Refleksi dan Observasi. Siswa mencerminkan dan melaporkan pengalaman di kelas mereka atau dalam kelompok. Hal ini terjadi sebagai ungkapan perasaan satu sama lain dan kepedulian terhadap sesuatu untuk dikatakan dan lain sebagainya.
 7. Mendengarkan. Siswa mendengarkan monolog oleh guru yang melibatkan unsur-unsur dari mereka dalam interaksi di kelas.
8. Percakapan bebas. Siswa terlibat percakapan bebas dengan guru atau siswa lain. Hal ini mungkin termasuk dalam diskusi tentang apa yang mereka pelajari serta perasaan mereka tentang apa yang telah dipelajari.

E.     Contoh Pelaksanaan pembelajaran
1. Satu kelas terdiri dari 6 – 12 siswa yang duduk dengan membentuk lingkaran.
2. Guru memberi salam, mengenalkan diri dan mempersilakan siswa saling berkenalan.
3. Guru memberi tahu siswa tentang apa yang akan dilakukan, menjelaskan prosedur dan menentukan batasan waktu.
4. Guru berdiri di luar lingkaran dari siswa berada.
5. Tape recorder disiapkan untuk merekam ucapan siswa (yang direkam hanya ucapan bahasa target yang sedang dipelajari yang nantinya akan ditranskripsikan).
6. Siswa melakukan percakapan. Seorang siswa mengucapkan dengan keras pesan menggunakan bahasa pertama. Guru berdiri dibelakang siswa tersebut.
7. Guru memberikan pesan dalam bahasa target.
8. Siswa mengulangi pesan dengan suara yang keras untuk teman-teman dengan menggunakan bahasa kedua.
9. Proses ini dilakukan berulang-ulang serta direkam. Dalam proses ini, guru juga memberi tahu sisa waktu untuk percakapan.
10. Setelah selesai siswa diajak membicarakan tentang perasaan mereka selama percakapan, guru memahami dan menerima semua yang diungkapkan siswa.
11. Ucapan-ucapan ini dimainkan lagi, diterjemahkan kedalam bahasa pertama.
12. Siswa disuruh membuat setengah lingkaran menghadap papan tulis dan ucapan-ucapan yang telah direkam tadi di transkripsikan.
13. Pada kegiatan Human ComputerTM, siswa memilih frase mana yang ingin mereka latih pengucapannya. Guru mengikuti apa yang diinginkan siswa, mengulangi frase sampai siswa merasa puas dan berhenti.
14. Pada pertemuan yang lain, siswa juga bisa bekerjasama dalam kelompok kecil (tiga orang).
15. Jika ada kesalahan, guru memberikan koreksi dengan cara mengulangi dengan benar kalimat yang telah dibuat siswa.
F.     Simpulan
Community Language Learning (Komunitas belajar bahasa) merupakan metode yang paling responsive dari segi sensitivitas untuk pelajar. Tujuan komunitas ini terhambat oleh jumlah dan pengetahuan sesama peserta didik. Guru harus sensitif terhadap bahasa pertama dan bahasa kedua. Guru harus siap menerima bahkan mendorong para siswa untuk bersifat agresi karena ia berusaha untuk bebas. Guru mengajar tanpa bahan konvensional tergantung pada topik siswa untuk memotivasi kelas. Sekelompok peserta didik duduk membentuk lingkaran dengan guru berdiri di luar lingkaran; siswa berbisik dalam bahasa asli sedangkan silabus yang menjadikan tujuan menjadi jelas dan evaluasi sulit dicapai. Hal ini fokus pada kelancaran bukan pada ketepatan yang menyebabkan kontrol tidak memadai dari bahasa sasaran Manfaat positif dari metode ini yakni berpusat pada peserta didik dan menekankan sisi humanistik belajar bahasa dan bukan hanya dimensi bahasanya.

Daftar Rujukan
Christian M.P. Karmadevi dkk. 1996. Pandangan Behaviorisme terhadap Pemerolehan Bahasa Pertama. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Community Language Learning. http://www.articledeck.com/Community-Language-Learning.html. Diunduh 20-09-2011.
Irawan, Prasetya. 2005. Teori Belajar dan Motivasi. Jakarta: Pusat Antar Universitas untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional.
Juanda, Ahmad. 2007. You Can’t Learn Without Goofing. An Error Analysis of Children’s Second Language Error. Paper Mata Kuliah Error Analysis: PPs UNM.
Mulyasa. 2006. Menjadi Guru Profesional. Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurhadi & Senduk, Agus Gerrad. 2003. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang.
Sumardi, Muljanto. 1992. Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

0 comments:

Post a Comment