Total Pageviews

Tuesday, 23 July 2013

LIMA PENDEKATAN MUTAKHIR DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS



LIMA PENDEKATAN MUTAKHIR
DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS

Ahmad Juanda, S.Pd., M.Pd.
Guru SMA Negeri 1 Galesong Selatan

Disajikan pada Workshop Pendidikan Peningkatan Kompetensi Guru
22 September 2011
                                                                                                                                             
A.    PendahuluanHingga saat ini, konsep pembelajaran bahasa Inggris masih sering diwarnai oleh suatu pandangan yang secara implisit mengatakan bahwa guru adalah pemilik ilmu dan siswa adalah subjek yang menjadi dulangan guru. Penelitian maupun praktek pembelajaran bahasa Inggris saat ini, kadang lebih tercurahkan pada bagaimana kita bisa mengajarkan bahasa Inggris sebaik-baiknya. Hampir tidak pernah disinggung peranan siswa dalam menanggapi masukan-masukan yang kita berikan.
Lima pendekatan yang akan penulis sajikan dalam tulisan ini, yakni Community Language Learning, Total Physical Response, The Natural Apporach, The Silent Way, dan Suggestopedy adalah pendekatan yang akhir-akhir ini sering diperbincangkan orang dalam pertemuan-pertemuan kebahasaan. Kecuali Natural Approach, pendekatan lain diajukan oleh ilmuan yang bidangnya bukan ilmu bahasa. Mau tidak mau pandangan yang mereka kemukakan mengenai pengajaran bahasa”sedikit berbeda” dengan pandangan kita yang lebih dituntun oleh ilmu lingistik daripada psikoterapi atau pun konseling.



B.     Community Language Learning
Community Language Learnign (CLL), tumbuh dari suatu ide untuk menerapkan konsep psikoterapi dalam pengajaran bahasa. Dari berbagai hasil penelitian dilaporkan bahwa pendekatan ini telah mencapai hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pendekatan pengajaran yang konvensional.
Para ahli pendekatan ini beranggapan bahwa pada waktu seseorang terjun ke dalam suatu arena yang baru seperti proses belajar bahasa Inggris dia sebagai manusia dikodrati dengan berbagai ciri manusiawi pada umumnya. Dalam lingkungan yang baru di mana dia merasa asing, dia dihinggapi oleh rasa tak aman (insecurity), rasa keterancaman (threat), rasa ketidakmenentuan (anxiety), konflik dan berbagai perasaan lain yang secara tak tersadari menghalang-halangi dia untuk maju.
Tugas utama seorang guru, yang dalam pendekatan ini disebut dengan istilah konselor, adalah menghilangkan atau paling tidak mengurangi segala perasaan negatif para siswanya. Seorang guru dituntut untuk memiliki sikap yang fasilitatif, baik dalam menularkan pengetahuannya maupun dalam menolong para siswa maju dari satu tahap ke tahap yang lain. Sikap ramah-tamah, penuh pengertian, mengiakan, dan mendukung merupakan kualifikasi yang harus dimiliki oleh setiap guru.
Dalam pendekatan ini, ada enam konsep yang diperlukan untuk menumbuhkan ”Learning”. Enam konsep ini dicakup dalam satu singkatan, SARD, yang kepanjangannya adalah Security, Attention-Aggression, Retention-Reflection, dan Discrimination.
Security adalah rasa aman pada diri siswa, yang dalam pendekatan ini disebut dengan istilah klien, maupun pada diri guru. Rasa aman bisa ditemukan apabila rekan sekelas beserta konselornya menunjukkan sikap kegotongroyongan dan memberikan kepercayaan kepadanya.
Attention-Aggression adalah mencari keseimbangan antara guru dalam membina perhatian dan siswa dalam berperan aktif dalam proses pembelajaran.
Retention dan reflection adalah proses pencerminan diri untuk mengetahui sampai sejauh mana para siswa telah menguasai materi pelajaran dan masalah-masalah apa yang timbul dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini ada dua macam refleksi, yaitu refleksi teks dan refleksi pengalaman. Kedua proses refleksi ini dilakukan pada tiap akhir pembelajaran.
Dalam refleksi teks para siswa mendengarkan kembali percakapan yang telah mereka lakukan beberapa menit atau jam sebelumnya untuk merenungkan dan mencamkan kembali arti dan signifikan dari kalimat maupun frase yang telah mereka buat.
Refleksi pengalaman dimaksudkan untuk mengeluarkan dari lubuk hati segala permasalahan psikologis yang dialami tiap siswa selama kelas sebelumnya berlangsung. Dalam pertemuan seperti ini guru dituntut untuk bisa memberikan bimbingan dan pengarahan psikologis yang akan membawa siswa ke arah yang positif.
Discrimination adalah tahap dimana kesalahan-kesalahan ucapan, ungkapan, maupun sintaksis tidak perlu dipermasalahkan yang terpenting terjadi komunikasi dimana pendengar dapat memahami maksud dari pembicara.

(1)   Tahap-Tahap Penguasaan CLL
Ada lima tahap penguasaan dalam pendekatan CLL, yakni Embryonic Stage, Self-Assertion Stage, Birth Stage, Reversal Stage, dan Independent Stage.
Embryonic Stage adalah suatu tahap di mana ketergantungan siswa pada gurunya sangat besar. Pada tahap ini, guru bertugas menghilangkan atau mengurangi perasaaan-perasaan negatif siswa dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan yang layak. Guru menjelaskan aktivitas apa yang diharapkan dan memberi waktu kepada siswa untuk merefleksikan dirinya mengenai pengalamannya.
Self-Assertion Stage adalah tahap di mana siswa telah memperoleh dukungan moral dari rekan sekelasnya untuk bersama-sama memakai bahasa Inggris dan menemukan identitas sebagai penutur bahasa itu. Pada tahap ini siswa telah mulai berani sedikit-sedikit melepaskan diri dari gurunya dan memakai bahasa Inggris langsung dengan teman-teman lainnya.
Birth Stage adalah tahap di mana siswa secara bertahap mulai mengurangi pemakaian bahasa ibunya. Dia telah mulai merasakan kebiasaan dia dalam memakai bahasa Inggris dan hal ini menimbulkan adanya rasa aman di antara sesama mereka.
Reversal Stage adalah tahap di mana hubungan siswa dengan gurunya telah mencapai taraf saling percaya. Masing-masing tidak lagi merasa adanya hambatan psikologis, dan rasa saling percaya ini terdapat pula di antara sesama siswa lainnya. Pada tahap keempat ini, siswa tidak lagi banyak diam pada waktu diadakan pertemuan pembelajaran seperti pada tahap pertama, tetapi lebih aktif dalam percakapan-percakapan yang hidup.
Independent Stage adalah tahap di mana siswa telah menguasai semua materi pembelajaran. Pada tahap ini siswa memperluas bahasanya Inggrisnya dan mempelajari pula aspek-aspek sosial dan budaya dari para penutur asli.

(2)   Teknik Pelaksanaan CLL
Karena dalam CLL hubungan antara siswa dengan guru adalah hubungan terapeutik antara seorang klien dengan konselornya maka bentuk kelas dan proses pembelajarannya pun berbeda dengan kelas dan cara yang konvensional. Dalam CLL yang dianjurkan adalah tiap kelas terdiri dari enam sampai dua belas klien, dan tiap klien mempunyai seorang konselor. Pengaturan meja dan kursi dibuat sedemikian rupa sehingga terbentuklah semacam lingkaran. Konselor berada di belakang klien. Pengaturan lain bisa pula dilakukan dengan, misalnya konselor berada di ruang lain dan dihubungkan dengan tiap klien melalui media elektronik.
Dalam CLL tidak dipakai suatu teks apapun. Para klien datang untuk memulai kelasnya dengan duduk melingkari meja dan mereka bebas untuk memilih topik apa saja yang akan mereka bicarakan hari itu.
Pada akhir pembelajaran, rekaman pembicaraan diperdengarkan untuk direnungkan dan dihayati. Pada saat ini pula diadakan konseling oleh para konselor.
Pada kelas berikutnya klien menentukan lagi topik yang akan mereka bicarakan, dan demikian seterusnya. Dalam CLL dipergunakan alat peraga, tetapi alat ini bukan hanya sekedar untuk melatih drill dan latihan-latihan lainnya melainkan untuk mempertinggi rasa percaya pada diri sendiri.

C.    Total Physical Response
Total physical response adalah pendekatan pembelajaran bahasa Inggris yang memanfaatkan gerakan tubuh. Landasan yang mendasari TPR adalah sesuatu asumsi bahwa asimilasi dari informasi dan keterampilan bisa ditingkatkan secara signifikan apabila kita memanfaatkan sistem sensorik kinestetik. Dasar ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa dalama menguasai bahasanya sendiri seorang anak kecil lebih banyak dihidangi dengan ujaran-ujaran yang memerlukan tanggapan fisik dari pada macam ujaran lain.
Di sisi lain, patokan pada cara anak kecil ini menyadarkan kita pula akan satu hal lain; keterampilan komprehensi harus jauh-jauh telah dikuasai sebelum orang diharapkan memiliki keterampilan untuk berbicara. Total Physical Response memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para siswa untuk terlebih dahulu membekali diri dengan keterampilan komprehensi sampai mereka betul-betul merasa siap untuk mulai berbicara. Untuk mempertinggi retensi kosakata maupun arti kalimat, dianjurkan pemanfaatan gerakan badan dan anggota badan.




(1)Teknik Pelaksanaan Pembelajaran
Untuk mencapai hasil belajar yang optimal jumlah siswa dibatasi antara 20 – 25 dan setting pembelajaran berada di ruang yang cukup besar yang bisa diubah-ubah bentuknya sesuai dengan situasi yang sedang diperagakan.
Untuk merealisasikan kaitan antara tubuh dengan penguasaan bahasa, hampir semua materi pelajaran disajikan dalam bentuk kalimat perintah. Karena arti dalam TPR disajikan dalam bentuk peragaan fisik, metode ini tidak memerlukan terjemahan ke bahasa siswa.
Dalam TPR tidak diberikan pekerjaan rumah, meskipun tidak dilarang. Demikian pula koreksi terhadap kesalahan siswa hanya diberikan pada saat-saat yang tepat karena bagi TPR kesalahan adalah suatu fenomena yang lumrah yang selalu dialami siapa pun termasuk anak kecil dalam menguasai bahasanya sendiri.
Metode TPR (Total Physical Response Method) dipandang sebagai metode yang sesuai untuk mengajarkan bahasa Inggris pada anak usia dini dimana pembelajarannya lebih mengutamakan kegiatan langsung berhubungan dengan kegiatan fisik (physical) dan gerakan (movement). Dalam metode TPR ini, semakin sering atau semakin intensif memori seseorang diberikan stimulasi maka semakin kuat asosiasi memori berhubungan dan semakin mudah untuk mengingat (recalling). Kegiatan mengingat ini dilakukan secara verbal dengan aktifitas gerak (motor activity). Dari sisi perkembangan, keberhasilan belajar bahasa Inggris pada orang dewasa adalah sebagai proses yang paralel dengan pencapaian bahasa pertamanya. Berbicara langsung kepada anak usia dini (AUD) adalah merupakan suatu proses memberi perintah (command) dimana anak merespon secara fisik lebih dulu sebelum dia mampu menghasilkan respon secara verbal. Lebih lanjut, peran faktor emosi sangat efektif dalam pembelajaran bahasa anak, artinya belajar bahasa dengan melibatkan permainan dengan bergerak yang bisa dikombinasikan dengan bernyanyi atau bercerita akan dapat mengurangi tekanan belajar bahasa seseorang. Dengan keceriaan dalam diri anak (positive mood) akan memberikan dampak yang baik bagi belajar bahasa anak.
Proses pengajarannya dimulai dengan kalimat yang pendek, sederhana, dan bisa divisualisasikan di kelas. Langkah berikutnya adalah memperpanjang kalimat sedikit sehingga kita ciptakan kalimat-kalimat seperti ”Walk to the door!”,”Stop at the door!”, dan sebagainya. Beberapa kata lagi bisa ditambahkan setelah guru yakin bahwa kata-kata dan kalimat-kalimat sebelumnya telah betul-betul dimengerti.
Pada tiap pembelajaran baru selalu diberikan ringkasan dari pelajaran sebelumnya. Penambahan kosakata telah dipilih sehingga dalam waktu tertentu tercakuplah cukup banyak kosakata yang umumnya diperlukan dalam hidup sehari-hari.
Ada 5 (lima) penekanan agar anak memiliki pemahaman bahasa Inggris yang disebut sebagai pendekatan pemahaman (Comprehension Approach) yaitu:
1.      Kemampuan pemahaman diikuti dengan keahlian produktif dalam belajar bahasa Inggris.
2.      Pengajaran berbicara harus ditunda dulu sebelum kemampuan pemahaman anak sudah terbangun.
3.      Keahlian didapat melalui mendengar yang ditransfer kepada keahlian lain.
4.      Pengajaran harus menekankan arti daripada bentuk
5.      Pengajaran harus meminimalkan kadar stres pembelajar.

D.    The Natural Approach
Semula pendekatan ini bersandar pada pendekatan lama, yakni, Direct Method, tetapi perkembangan kemudian makin menjauh dari metode ini sehingga Natural Approach dianggap lebih cocok. Istilah Natural pada NA didasarkan pada suatu pandangan bahwa penguasaan (mastery) suatu bahasa lebih banyak tertumpu pada pemerolehan (acquisition) bahasa itu dalam konteks yang alamiah dan kurang pada pembelajaran (learning) aturan-aturan yang secara sadar dipelajari satu per satu.

(1)   Prinsip-Prinsip Dasar
Bertitik-tolak dari suatu pandangan bahwa tujuan pengajaran bahasa adalah untuk membuat siswa bisa berkomunikasi maka fokus dan cara pengajaran bahasa harus dialihkan dari apa yang sekarang ini umum dilakukan. Siswa harus didorong untuk untuk memilih kompetensi komunikatif.
Krashen dan Terrel sebagai pencetus the Natural Approach memandang komunikasi sebagai fungsi utama bahasa. Karena pendekatan ini berfokus pada pengajaran kemampuan berkomunikasi, maka the Natural Approach menolak metode – metode pengajaran bahasa yang memandang grammar sebagi komponen utama dari suatu bahasa.
Model teoritis yang mendasari NA adalah hipotesis pemerolehan pembelajaran. Menurut hipotesis ini penguasaan bahasa oleh orang dewasa terjadi melalui dua proses yang berbeda, yakni, pemerolehan dan pembelajaran.
Secara kasarnya bisa dikatakan bahwa proses natural yang dilakukan oleh anak kecil adalah pemerolehan, sedangkan yang dilakukan oleh orang dewasa adalah pembelajaran. Karena pemerolehan dilakukan di bawah sadar maka pengetahuan kebahasaan yang dimiliki orang lewat proses ini selalu bersifat implisit.
Dalam belajar bahasa keadaan emosi anak atau sikap anak merupakan alat penyaring ( filter ) yang mencegah mereka menggunakan input yang ada dalam lingkungannya, Krashen (1994:45). Untuk meminimalkan fungsi the affectve filter, kegiatan belajar anak harus terpusat pada kegiatan komunikasi yang bermakna bukan pada tata bahasanya. Input yang diberikan kepada anak harus menarik sehingga tercipta lingkungan kelompok  yang kondusif.
Sebaliknya, karena pembelajaran dilakukan secara sadar maka siswa akan ”mengetahui tentang” peraturan-peraturan kebahasaan itu secara eksplisit. Hipotesis pemerolehan pembelajaran mengklaim bahwa orang dewasa masih bisa memperoleh bahasa asing.

(2)   Teknik Pelaksanaan Pengajaran
NA diciptakan untuk mengembangkan kemampuan dasar dalam berkomunikasi. Tujuan ini dituangkan dalam ujud situasi, fungsi dan topik. Situasi perhotelan misalnya, memerlukan fungsi interaksi mengenai informasi ada tidaknya kamar kosong. Topiknya adalah mengenai masalah pencarian tempat penginapan.
Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan metode Natural Approach guru memainkan tiga peran utama, sebagai berikut :
  1. Guru sebagai sumber utama penyedia comprehensible input dalam bahasa sasaran. Guru diharuskan bisa menyediakan waktu yang banyak untuk memberikan input bahasa dengan berbagai macam bantuan seperti isyarat – isyarat sehingga anak bisa menafsirkan input yang diberikan.
  2. Guru berperan sebagai pencipta suasana kelompok yang menarik dan santai serta ramah sehingga akan meminimalkan terjadinya affective filter dalam belajar. Untuk meminimalkan terjadinya affective filter ini, guru tidak memaksa anak untuk berbicara di dalam kelompok sebelum mereka siap untuk berbicara;guru tidak mengoreksi kesalahan yang dibuat anak; dan guru memberikan bahan pelajaran yang sesuai dengan minat anak.
  3. Guru berperan sebagai penanggung jawab dan pemilih, mengumpulkan dan merancang materi pelajaran dan kegiatan kelompok yang beraneka ragam untuk digunakan dalam kelompok. Dalam memilih bahan pelajaran tidak hanya dipilih berdasarkan persepsi guru semata akan tetapi juga harus mempertimbangkan minat dan kebutuhan anak, disamping guru juga harus memilih situasi atau kegiatan yang tepat untuk penyajian materi tertentu.
Karena konsentrasi pertama dari NA adalah pengembangan kemampuan komprehensi maka tekanan pengajarannya lebih banyak pada penyajian kosakata dalam jumlah yang banyak dan kurang pada elemen-elemen gramatik. Demikian pula lafal tidak diberi perhatian khusus, kecuali bila mengubah arti.
Seluruh waktu di kelas dimanfaatkan untuk aktivitas-aktivitas yang menopang komprehensi dan bukan pembelajaran.
Sedangkan peran anak dalam pembelajaran dengan metode Natural Approach menurut Bambang Setiadi,dkk (2004; 4.7) dapat dilihat dari tahap – tahap sebagai berikut:
  1. Tahap pre-production, anak berpartisipasi dalam kegiatan kelompok tanpa harus memberikan respon atau berbicara selain bahasa Ingggris yang dipelajari. Kegiatan seperti ini misalnya dengan cara memperagakan atau menunjukkan perintah, ungkapan atau gambar – gambar yang diceritakan guru.
  2. Tahap early- production , anak diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan – pertanyaan sederhana yang diajukan oleh guru. Jawaban anak terdiri dari satu kata atau satu frase pendek.
  3. Tahap speech-emergent, anak sudah terlibat dalam kegiatan bermain peran (role play) dan permainan (games).

E.     The Silent Way
Pendekatan lain yang dinamakan Silent Way (SW), sebenarnya telah dirintis pada tahun 1954 oleh perintisnya, Caleb Gattegno, tetapi buku pertama yang membeberkan metode ini baru diterbitkan pada tahun 1963 dengan judul Teaching Foreign Language in Schools: The Silent Way. Setelah mengalami berbagai experimen tambahan selama tiga belas tahun, Gattegno menerbitkan buku lagi, The Common Sense of Teaching Foreign Language, yang merinci dan merevisi pemikiran dia semula.
Dengan latar belakang pendidikan formal di bidang pendidikan matematika, Gattegno memulai karirnya sebagai dosen ilmu eksakta dan bersama Georges Cuisenaire menulis Numbers in Colour di mana dipakai alat peraga yang berupa potongan-potongan kayu yang berwarna-warni – istilahnya rods. Pengalaman dia di Etiopia mengajar membaca dan menulis bahasa Amharik membuahkan buku lain Words in Color.

(1)      Prinsip-Prinsip Dasar
Meskipun di satu pihak Gattegno memanfaatkan cara anak kecil menguasai bahasanya sendiri, di pihak lain dia berkeras-pendapat bahwa penguasaan bahasa pertama, diistilahkan B1, tidak sama dengan penguasaan B2, bahasa asing yang sedang dicoba dikuasainya. Dari pengamatannya terhadap anak kecil yang sedikit demi sedikit memperoleh bahasanya sendiri itu Gattegno berkesimpulan bahwa manusia diberkati dengan suatu kemampuan untuk menggerakkan ”kekuatan dalam” lebih banyak daripada yang kita sadari.
Konsekwensi dari pandangan ini ada dua macam. Pertama, kita harus bisa menumbuhkan kesadaran akan adanya kekuatan ini sehingga yang dulu dipakai untuk menguasai B1 kini bisa dipakai lagi untuk B2. Cara untuk mencapai hal ini dilakukan antara lain dengan membiasakan siswa mendengarkan melodi bahasa.
Konsekwensi kedua adalah bahwa kita tidak boleh konsentrasi pada pengajaran tetapi pada pembelajaran. Doktrin Gattegno adalah ”Subordination of Teaching to Learning”. Dalam kebayakan hal, guru diwajibkan untuk lebih banyak diam, kecuali waktu menyajikan bahan baru. Penanganan kelas dilakukan dengan gerakan tangan, gelengan kepala, senyum, dan sebagainya.
Karena penguasaan B1 tidak sama dengan B2 maka metode pengajarannya tidak mungkin yang natural. Secara eksplisit Gattegno menyerukan agar metode yang dipakai itu metode yang sangat artifisial dan sangat terkontrol. Materi pelajaran tentu saja disajikan dengan media verbal, tetapi instruksi kepada siswa, koreksi kesalahan, dan penanganan kelas dilakukan tanpa memakai bahasa.
Silent Way sangat membatasi kosakata yang disajikan. Pembatasan seperti ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa siswa harus betul-betul memanfaatkan daya kognisinya untuk ”mengutak-atik” jumlah kata yang sedikit tetapi dicampur-campur dalam berbagai konstruksi yang berbeda-beda.
Untuk membantu siswa menguasai materi yang diberikan, Gattegno memakai beberapa alat peraga: (1) satu perangkat potongan kayu dengan ukuran dan warna yang berbeda, (2) beberan fibel (fibel chart), (3) beberan dinding (wall chart), (4) pita rekaman, film, transparan, gambar, (5) tiga teks dan buku cerita, dan (6) tiga antologi.
Ada beberapa manfaat yang bisa dipetik dari alat peraga ini, antara lain, (a) pemakaian B1 bisa dihindari, (b) situasi-situasi linguistik yang sederhana bisa diciptakan sehingga dapat dikotrol dengan ketat, (c) daya tangkap intelektual siswa dapat dikembangkan dengan siswa menerka sendiri arti yang dimaksud oleh gurunya, (d) perhatian guru tercurah pada ujaran siswa, termasuk lafal dan kelancaran ujaran, dan sebagainya.
Beberapa fibel berisi vokal dan kosonan. Untuk mendapatkan manfaat yang optimal yang terbesar lebih baik dipakai dua beberan pada awal pelajaran: satu untuk B1 dan satunya lagi untuk B2. Beberan dinding berbeda dengan beberan fibel. Dalam beberan dinding dituliskan kata-kata yang fungsional.
Berbeda dengan beberan metode yang lain, SW langsung menyajikan tulisan setelah atau malah pada waktu latihan lisan. Ini dimaksudkan untuk membantu daya ingat siswa.

(2)      Teknik Pelaksanaan Pengajaran
Pada hari pertama guru mulai mengajar, dia membawa satu kotak potongan kayu berwarna. Dia mengambil satu potongan yang merah dan pendek sambil mengucapkan, misalnya, layuka. Dia mengambil kayu merah lagi yang agak panjang dan mengatakan layuka. Dengan dua kayu dan satu kata ini siswa terpaksa menerka-nerka apakah layuka berarti potongan kayu atau warna merah. Setelah guru kemudian mengambil kayu lain yang berwarna biru dengan ukuran yang lebih panjang lagi dan dia mengucapkan kata layuka maka sadarlah para siswa bahwa layuka pasti berarti sebatang kayu, dan bukan warna merah.
Setelah beberapa kali mendemonstrasikan contoh di atas, guru mengisyaratkan para siswa dengan gerakan tangan dan mimik untuk menirukan. Kemudian secara individu siswa diminta memberikan kata bagi kayu yang ditunjukkan.
Pada awal pembelajaran hanya tiga kata kerja yang diberikan, misalnya, take, give, dan put. Kata-kata ini satu persatu diberikan dalam konteks peragaan. Beberapa dinding dipakai untuk melatih ucapan. Dengan guru menunjukkan huruf-huruf tertentu, yang masing-masing ada warna untuk ucapannya.

F.     Suggestopedia
Suggestipedia mulai dirintis pada musim panas pada tahun 1975 di Bulgaria ketika sekelompok peminat di Institut Penelitian  Pedagogy di bawah George Lozanov melakukan penelitian mengenai pengajaran bahasa asing. Sebagai seorang dokter dan psikoterapis, Lozanov tentu saja memanfaatkan keahlian ilmunya untuk menangani bidang-bidang lain yang menjadi minatnya. Di samping berbagai artikel, sumber utama untuk metode ini adalah buku Lozanov Suggestopedia and Outlines of Suggestopedy yang pertama-tama diterbitkan tahun 1978 dan dicetak ketiga kalinya tahun 1982.


(1)   Prinsip-Prinsip Dasar
Sebagai landasan yang paling dasar dan paling bawah untuk SP adalah Suggestology, yakni, suatu konsep yang menyuguhkan suatu pandangan bahwa manusia bisa diarahkan untuk melakukan sesuatu dengan kita memberikan sugesti. Pikiran harus dibuat setenang mungkin, santai, dan terbuka sehingga bahan-bahan yang merangsang saraf penerimaan bisa dengan mudah diterima dan dipertahankan untuk jangka waktu yang lama.
Dalam bidang pengajaran bahasa suasana tenang ini dicapai dengan memakai berbagai cara, salah satu diantaranya adalah yoga. Pada saat sebelum siswa mulai tiap pelajaran, siswa diminta untuk melakukan yoga yang tujuan utamanya adalah untuk menghimpun kemampuan yang hipermnestik yakni, suatu kemampuan ”supermemory” yang luar biasa.
Di samping perlunya menggali hypermnesia ini, kita memerlukan suatu atmosfir fisik yang mendukung proses belajar-mengajar. Atmorfir ini diciptakan dengan pemilihan ruangan yang kondusif terhadap proses pembelajaran. Pada tiap pelajaran diberikan pula latar belakang musik yang sesuai dengan jiwa bahan yang diberikan. Baik yoga, ruang, dan musik ini semuanya dimaksudkan untuk menenangkan pikiran siswa sehingga bisa dengan mudah menerima bahan yang diberikan.
SP menekankan pada penyerapan mental dari bahan pelajaran yang diterima, untuk kemudian direnungkan, dicamkan, dan dipakai bersama siswa lain di kelas. Meskipun pada dasarnya SP menekankan pemakaian hanya B2 di kelas, tetapi pada saat-saat yang tepat B1 dipakai pula, terutama untuk menerangkan dan memberikan arti bagi kata-kata yang baru.
Pada umumnya bahan pelajaran diberikan dalam bentuk dialog yang sangat panjang. Dialog dalam SP mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) penekanan ada di kosakata dan isi, (2) dasar pembuatan dialog adalah keadaan atau peristiwa hidup yang riel, (3) harus secara emosional relevan, (4) memiliki kegunaan praktis, dan (5) kata-kata yang baru diberi garis bawah dan disertai transkripsi fonetik untuk lafalnya.

G.     Teknik Pelaksanaan Pengajaran
Karena atmosfir kelas harus dijaga, maka jumlah siswa yang paling ideal adalah dua belas, lebih baik lagi kalau enam pria dan enam wanita. Tiap siswa diberi nama dan peran. Tiap pertemuan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama dipakai untuk mengulang bahan pelajaran hari sebelumnya. Pada bagian kedua, guru menyajikan bahan baru dalam bentuk dialog dan caranya tidak jauh berbeda dengan cara yang tradisional; bahan disajikan dan diperagakan, diikuti dengan keterangan kata-kata baru dan tata bahasa. Bagian ketiga adalah pertemuan yang tujuannya untuk reinforcement bahan baru pada taraf bawah sadar.
Pada bagian ketiga, para siswa duduk-duduk dan menyantaikan diri mereka dengan postur duduk yang dinamakan Savasana. Kegiatan pada bagian ini terdiri dari  dua macam, yang aktif dan yang pasif, dan kegiatan ini berlangsung sekitar satu jam. Pada kegiatan aktif, siswa melakukan kontrol terhadap pernapasan dengan ritme sebagai berikut: 2 detik pertama untuk tarik napas, 4 detik kemudian untuk tahan napas, dan 2 detik terakhir untuk istirahat. Proses ini diualang-ulang selama 25 menit.
Pada dua detik tarikan napas guru menyajikan bahan dalam bentuk B1 untuk memberikan siswa kesempatan mengerti apa yang akan disajikan dalam B2. Pada detik ketiga sampai keenam siswa menahan napas dan guru menyajikan bahan dalam B2. Pada saat ini siswa boleh melihat buku teks dan mengulang secara mental bahan yang sedang disajikan.
Bagian yang pasif dari bagian yang ketiga berlangsung sekitar 20-25 menit. Pada saat ini siswa mendengarkan suatu macam musik gaya baroque, yakni bentuk musik yang berasal dari abad ke 17 yang penuh dengan ornamentasi dan improvisasi dan efek-efek yang kontranstif. Para siswa menutup mata dan memeditasi bahan yang diperdengarkan. Konser ini berakhir dengan bunyi seruling yang cepat dan gembira sehingga tergugahlah para siswa dari meditasi mereka masing-masing.

Daftar Rujukan
Christian M.P. Karmadevi dkk. 1996. Pandangan Behaviorisme terhadap Pemerolehan Bahasa Pertama. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Irawan, Prasetya. 2005. Teori Belajar dan Motivasi. Jakarta: Pusat Antar Universitas untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional.

Juanda, Ahmad. 2007. You Can’t Learn Without Goofing. An Error Analysis of Children’s Second Language Error. Paper Mata Kuliah Error Analysis: PPs UNM.

Mulyasa. 2006. Menjadi Guru Profesional. Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nurhadi & Senduk, Agus Gerrad. 2003. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang.

Sumardi, Muljanto. 1992. Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

0 comments:

Post a Comment