LIMA PENDEKATAN MUTAKHIR
DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS
Ahmad Juanda, S.Pd., M.Pd.
Guru SMA Negeri 1 Galesong Selatan
Disajikan pada Workshop Pendidikan Peningkatan
Kompetensi Guru
22 September 2011
A. PendahuluanHingga saat ini, konsep pembelajaran bahasa Inggris
masih sering diwarnai oleh suatu pandangan yang secara implisit mengatakan
bahwa guru adalah pemilik ilmu dan siswa adalah subjek yang menjadi dulangan
guru. Penelitian maupun praktek pembelajaran bahasa Inggris saat ini, kadang lebih
tercurahkan pada bagaimana kita bisa mengajarkan bahasa Inggris sebaik-baiknya.
Hampir tidak pernah disinggung peranan siswa dalam menanggapi masukan-masukan
yang kita berikan.
Lima pendekatan yang akan
penulis sajikan dalam tulisan ini, yakni Community
Language Learning, Total Physical Response, The Natural Apporach, The Silent
Way, dan Suggestopedy adalah
pendekatan yang akhir-akhir ini sering diperbincangkan orang dalam
pertemuan-pertemuan kebahasaan. Kecuali Natural
Approach, pendekatan lain diajukan oleh ilmuan yang bidangnya bukan ilmu
bahasa. Mau tidak mau pandangan yang mereka kemukakan mengenai pengajaran
bahasa”sedikit berbeda” dengan pandangan kita yang lebih dituntun oleh ilmu
lingistik daripada psikoterapi atau pun konseling.
B. Community Language Learning
Community Language Learnign (CLL), tumbuh dari suatu ide untuk menerapkan konsep psikoterapi dalam
pengajaran bahasa. Dari berbagai hasil penelitian dilaporkan bahwa pendekatan
ini telah mencapai hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pendekatan
pengajaran yang konvensional.
Para ahli pendekatan ini
beranggapan bahwa pada waktu seseorang terjun ke dalam suatu arena yang baru
seperti proses belajar bahasa Inggris dia sebagai manusia dikodrati dengan
berbagai ciri manusiawi pada umumnya. Dalam lingkungan yang baru di mana dia
merasa asing, dia dihinggapi oleh rasa tak aman (insecurity), rasa keterancaman (threat),
rasa ketidakmenentuan (anxiety),
konflik dan berbagai perasaan lain yang secara tak tersadari menghalang-halangi
dia untuk maju.
Tugas utama seorang guru, yang
dalam pendekatan ini disebut dengan istilah konselor, adalah
menghilangkan atau paling tidak mengurangi segala perasaan negatif para
siswanya. Seorang guru dituntut untuk memiliki sikap yang fasilitatif, baik
dalam menularkan pengetahuannya maupun dalam menolong para siswa maju dari satu
tahap ke tahap yang lain. Sikap ramah-tamah, penuh pengertian, mengiakan, dan
mendukung merupakan kualifikasi yang harus dimiliki oleh setiap guru.
Dalam pendekatan ini, ada enam
konsep yang diperlukan untuk menumbuhkan ”Learning”.
Enam konsep ini dicakup dalam satu singkatan, SARD, yang kepanjangannya adalah Security, Attention-Aggression,
Retention-Reflection, dan Discrimination.
Security adalah rasa
aman pada diri siswa, yang dalam pendekatan ini disebut dengan istilah klien,
maupun pada diri guru. Rasa aman bisa ditemukan apabila rekan sekelas beserta
konselornya menunjukkan sikap kegotongroyongan dan memberikan kepercayaan
kepadanya.
Attention-Aggression
adalah mencari keseimbangan antara guru dalam membina perhatian dan siswa dalam
berperan aktif dalam proses pembelajaran.
Retention dan reflection adalah proses pencerminan
diri untuk mengetahui sampai sejauh mana para siswa telah menguasai materi
pelajaran dan masalah-masalah apa yang timbul dalam proses pembelajaran. Dalam
hal ini ada dua macam refleksi, yaitu refleksi teks dan refleksi pengalaman.
Kedua proses refleksi ini dilakukan pada tiap akhir pembelajaran.
Dalam refleksi teks para siswa
mendengarkan kembali percakapan yang telah mereka lakukan beberapa menit atau
jam sebelumnya untuk merenungkan dan mencamkan kembali arti dan signifikan dari
kalimat maupun frase yang telah mereka buat.
Refleksi pengalaman
dimaksudkan untuk mengeluarkan dari lubuk hati segala permasalahan psikologis
yang dialami tiap siswa selama kelas sebelumnya berlangsung. Dalam pertemuan
seperti ini guru dituntut untuk bisa memberikan bimbingan dan pengarahan
psikologis yang akan membawa siswa ke arah yang positif.
Discrimination adalah
tahap dimana kesalahan-kesalahan ucapan, ungkapan, maupun sintaksis tidak perlu
dipermasalahkan yang terpenting terjadi komunikasi dimana pendengar dapat
memahami maksud dari pembicara.
(1) Tahap-Tahap Penguasaan CLL
Ada lima tahap penguasaan
dalam pendekatan CLL, yakni Embryonic
Stage, Self-Assertion Stage, Birth Stage, Reversal Stage, dan Independent Stage.
Embryonic Stage
adalah suatu tahap di mana ketergantungan siswa pada gurunya sangat besar. Pada
tahap ini, guru bertugas menghilangkan atau mengurangi perasaaan-perasaan
negatif siswa dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan yang layak. Guru
menjelaskan aktivitas apa yang diharapkan dan memberi waktu kepada siswa untuk
merefleksikan dirinya mengenai pengalamannya.
Self-Assertion Stage
adalah tahap di mana siswa telah memperoleh dukungan moral dari rekan
sekelasnya untuk bersama-sama memakai bahasa Inggris dan menemukan identitas
sebagai penutur bahasa itu. Pada tahap ini siswa telah mulai berani
sedikit-sedikit melepaskan diri dari gurunya dan memakai bahasa Inggris
langsung dengan teman-teman lainnya.
Birth Stage adalah
tahap di mana siswa secara bertahap mulai mengurangi pemakaian bahasa ibunya.
Dia telah mulai merasakan kebiasaan dia dalam memakai bahasa Inggris dan hal
ini menimbulkan adanya rasa aman di antara sesama mereka.
Reversal Stage adalah
tahap di mana hubungan siswa dengan gurunya telah mencapai taraf saling
percaya. Masing-masing tidak lagi merasa adanya hambatan psikologis, dan rasa
saling percaya ini terdapat pula di antara sesama siswa lainnya. Pada tahap
keempat ini, siswa tidak lagi banyak diam pada waktu diadakan pertemuan
pembelajaran seperti pada tahap pertama, tetapi lebih aktif dalam
percakapan-percakapan yang hidup.
Independent Stage
adalah tahap di mana siswa telah menguasai semua materi pembelajaran. Pada
tahap ini siswa memperluas bahasanya Inggrisnya dan mempelajari pula
aspek-aspek sosial dan budaya dari para penutur asli.
(2) Teknik Pelaksanaan CLL
Karena dalam CLL hubungan
antara siswa dengan guru adalah hubungan terapeutik antara seorang klien dengan
konselornya maka bentuk kelas dan proses pembelajarannya pun berbeda dengan
kelas dan cara yang konvensional. Dalam CLL yang dianjurkan adalah tiap kelas
terdiri dari enam sampai dua belas klien, dan tiap klien mempunyai seorang
konselor. Pengaturan meja dan kursi dibuat sedemikian rupa sehingga
terbentuklah semacam lingkaran. Konselor berada di belakang klien. Pengaturan
lain bisa pula dilakukan dengan, misalnya konselor berada di ruang lain dan
dihubungkan dengan tiap klien melalui media elektronik.
Dalam CLL tidak dipakai suatu
teks apapun. Para klien datang untuk memulai kelasnya dengan duduk melingkari
meja dan mereka bebas untuk memilih topik apa saja yang akan mereka bicarakan
hari itu.
Pada akhir pembelajaran,
rekaman pembicaraan diperdengarkan untuk direnungkan dan dihayati. Pada saat
ini pula diadakan konseling oleh para konselor.
Pada kelas berikutnya klien
menentukan lagi topik yang akan mereka bicarakan, dan demikian seterusnya.
Dalam CLL dipergunakan alat peraga, tetapi alat ini bukan hanya sekedar untuk
melatih drill dan latihan-latihan
lainnya melainkan untuk mempertinggi rasa percaya pada diri sendiri.
C. Total Physical Response
Total physical response adalah
pendekatan pembelajaran bahasa Inggris yang memanfaatkan gerakan tubuh.
Landasan yang mendasari TPR adalah sesuatu asumsi bahwa asimilasi dari
informasi dan keterampilan bisa ditingkatkan secara signifikan apabila kita
memanfaatkan sistem sensorik kinestetik. Dasar ini dikaitkan dengan kenyataan
bahwa dalama menguasai bahasanya sendiri seorang anak kecil lebih banyak
dihidangi dengan ujaran-ujaran yang memerlukan tanggapan fisik dari pada macam
ujaran lain.
Di sisi lain, patokan pada
cara anak kecil ini menyadarkan kita pula akan satu hal lain; keterampilan
komprehensi harus jauh-jauh telah dikuasai sebelum orang diharapkan memiliki
keterampilan untuk berbicara. Total
Physical Response memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para
siswa untuk terlebih dahulu membekali diri dengan keterampilan komprehensi
sampai mereka betul-betul merasa siap untuk mulai berbicara. Untuk mempertinggi
retensi kosakata maupun arti kalimat, dianjurkan pemanfaatan gerakan badan dan
anggota badan.
(1)Teknik Pelaksanaan Pembelajaran
Untuk mencapai hasil belajar
yang optimal jumlah siswa dibatasi antara 20 – 25 dan setting pembelajaran
berada di ruang yang cukup besar yang bisa diubah-ubah bentuknya sesuai dengan
situasi yang sedang diperagakan.
Untuk merealisasikan kaitan
antara tubuh dengan penguasaan bahasa, hampir semua materi pelajaran disajikan
dalam bentuk kalimat perintah. Karena arti dalam TPR disajikan dalam bentuk
peragaan fisik, metode ini tidak memerlukan terjemahan ke bahasa siswa.
Dalam TPR tidak diberikan
pekerjaan rumah, meskipun tidak dilarang. Demikian pula koreksi terhadap
kesalahan siswa hanya diberikan pada saat-saat yang tepat karena bagi TPR
kesalahan adalah suatu fenomena yang lumrah yang selalu dialami siapa pun
termasuk anak kecil dalam menguasai bahasanya sendiri.
Metode TPR (Total Physical Response Method) dipandang sebagai metode yang
sesuai untuk mengajarkan bahasa Inggris pada anak usia dini dimana
pembelajarannya lebih mengutamakan kegiatan langsung berhubungan dengan
kegiatan fisik (physical) dan gerakan (movement). Dalam metode TPR ini, semakin
sering atau semakin intensif memori seseorang diberikan stimulasi maka semakin
kuat asosiasi memori berhubungan dan semakin mudah untuk mengingat (recalling).
Kegiatan mengingat ini dilakukan secara verbal dengan aktifitas gerak (motor
activity). Dari sisi perkembangan, keberhasilan belajar bahasa Inggris pada orang
dewasa adalah sebagai proses yang paralel dengan pencapaian bahasa pertamanya. Berbicara
langsung kepada anak usia dini (AUD) adalah merupakan suatu proses memberi
perintah (command) dimana anak merespon secara fisik lebih dulu sebelum dia
mampu menghasilkan respon secara verbal. Lebih lanjut, peran faktor emosi
sangat efektif dalam pembelajaran bahasa anak, artinya belajar bahasa dengan
melibatkan permainan dengan bergerak yang bisa dikombinasikan dengan bernyanyi
atau bercerita akan dapat mengurangi tekanan belajar bahasa seseorang. Dengan
keceriaan dalam diri anak (positive mood) akan memberikan dampak yang baik bagi
belajar bahasa anak.
Proses pengajarannya dimulai
dengan kalimat yang pendek, sederhana, dan bisa divisualisasikan di kelas.
Langkah berikutnya adalah memperpanjang kalimat sedikit sehingga kita ciptakan
kalimat-kalimat seperti ”Walk to the
door!”,”Stop at the door!”, dan
sebagainya. Beberapa kata lagi bisa ditambahkan setelah guru yakin bahwa
kata-kata dan kalimat-kalimat sebelumnya telah betul-betul dimengerti.
Pada tiap pembelajaran baru
selalu diberikan ringkasan dari pelajaran sebelumnya. Penambahan kosakata telah
dipilih sehingga dalam waktu tertentu tercakuplah cukup banyak kosakata yang
umumnya diperlukan dalam hidup sehari-hari.
Ada 5 (lima) penekanan agar anak memiliki pemahaman bahasa Inggris yang
disebut sebagai pendekatan pemahaman (Comprehension Approach) yaitu:
1.
Kemampuan pemahaman diikuti dengan keahlian produktif
dalam belajar bahasa Inggris.
2.
Pengajaran berbicara harus ditunda dulu sebelum
kemampuan pemahaman anak sudah terbangun.
3.
Keahlian didapat melalui mendengar yang ditransfer
kepada keahlian lain.
4.
Pengajaran harus menekankan arti daripada bentuk
5. Pengajaran
harus meminimalkan kadar stres pembelajar.
D. The Natural Approach
Semula pendekatan ini
bersandar pada pendekatan lama, yakni, Direct
Method, tetapi perkembangan kemudian makin menjauh dari metode ini sehingga
Natural Approach dianggap lebih
cocok. Istilah Natural pada NA
didasarkan pada suatu pandangan bahwa penguasaan (mastery) suatu bahasa lebih
banyak tertumpu pada pemerolehan (acquisition) bahasa itu dalam konteks yang
alamiah dan kurang pada pembelajaran (learning) aturan-aturan yang secara sadar
dipelajari satu per satu.
(1) Prinsip-Prinsip Dasar
Bertitik-tolak dari suatu
pandangan bahwa tujuan pengajaran bahasa adalah untuk membuat siswa bisa
berkomunikasi maka fokus dan cara pengajaran bahasa harus dialihkan dari apa
yang sekarang ini umum dilakukan. Siswa harus didorong untuk untuk memilih
kompetensi komunikatif.
Krashen dan Terrel sebagai pencetus the Natural Approach memandang
komunikasi sebagai fungsi utama
bahasa. Karena pendekatan ini berfokus pada pengajaran kemampuan berkomunikasi,
maka the Natural Approach menolak metode – metode pengajaran bahasa yang
memandang grammar sebagi komponen utama dari suatu bahasa.
Model teoritis yang mendasari
NA adalah hipotesis pemerolehan pembelajaran. Menurut hipotesis ini penguasaan
bahasa oleh orang dewasa terjadi melalui dua proses yang berbeda, yakni,
pemerolehan dan pembelajaran.
Secara kasarnya bisa dikatakan
bahwa proses natural yang dilakukan
oleh anak kecil adalah pemerolehan, sedangkan yang dilakukan oleh orang dewasa
adalah pembelajaran. Karena pemerolehan dilakukan di bawah sadar maka
pengetahuan kebahasaan yang dimiliki orang lewat proses ini selalu bersifat
implisit.
Dalam belajar bahasa keadaan emosi anak atau sikap anak merupakan alat
penyaring ( filter ) yang mencegah mereka menggunakan input yang ada
dalam lingkungannya, Krashen (1994:45). Untuk meminimalkan fungsi the
affectve filter, kegiatan belajar anak harus terpusat pada kegiatan
komunikasi yang bermakna bukan pada tata bahasanya. Input yang diberikan kepada
anak harus menarik sehingga tercipta lingkungan kelompok yang kondusif.
Sebaliknya, karena
pembelajaran dilakukan secara sadar maka siswa akan ”mengetahui tentang”
peraturan-peraturan kebahasaan itu secara eksplisit. Hipotesis pemerolehan
pembelajaran mengklaim bahwa orang dewasa masih bisa memperoleh bahasa asing.
(2) Teknik Pelaksanaan Pengajaran
NA diciptakan untuk
mengembangkan kemampuan dasar dalam berkomunikasi. Tujuan ini dituangkan dalam
ujud situasi, fungsi dan topik. Situasi perhotelan misalnya, memerlukan fungsi
interaksi mengenai informasi ada tidaknya kamar kosong. Topiknya adalah
mengenai masalah pencarian tempat penginapan.
Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan metode Natural Approach guru
memainkan tiga peran utama, sebagai berikut :
- Guru sebagai sumber utama penyedia comprehensible input dalam bahasa sasaran. Guru diharuskan bisa menyediakan waktu yang banyak untuk memberikan input bahasa dengan berbagai macam bantuan seperti isyarat – isyarat sehingga anak bisa menafsirkan input yang diberikan.
- Guru berperan sebagai pencipta suasana kelompok yang menarik dan santai serta ramah sehingga akan meminimalkan terjadinya affective filter dalam belajar. Untuk meminimalkan terjadinya affective filter ini, guru tidak memaksa anak untuk berbicara di dalam kelompok sebelum mereka siap untuk berbicara;guru tidak mengoreksi kesalahan yang dibuat anak; dan guru memberikan bahan pelajaran yang sesuai dengan minat anak.
- Guru berperan sebagai penanggung jawab dan pemilih, mengumpulkan dan merancang materi pelajaran dan kegiatan kelompok yang beraneka ragam untuk digunakan dalam kelompok. Dalam memilih bahan pelajaran tidak hanya dipilih berdasarkan persepsi guru semata akan tetapi juga harus mempertimbangkan minat dan kebutuhan anak, disamping guru juga harus memilih situasi atau kegiatan yang tepat untuk penyajian materi tertentu.
Karena konsentrasi pertama
dari NA adalah pengembangan kemampuan komprehensi maka tekanan pengajarannya
lebih banyak pada penyajian kosakata dalam jumlah yang banyak dan kurang pada
elemen-elemen gramatik. Demikian pula lafal tidak diberi perhatian khusus,
kecuali bila mengubah arti.
Seluruh waktu di kelas
dimanfaatkan untuk aktivitas-aktivitas yang menopang komprehensi dan bukan
pembelajaran.
Sedangkan peran anak dalam pembelajaran dengan metode Natural Approach
menurut Bambang Setiadi,dkk (2004; 4.7) dapat dilihat dari tahap – tahap
sebagai berikut:
- Tahap pre-production, anak berpartisipasi dalam kegiatan kelompok tanpa harus memberikan respon atau berbicara selain bahasa Ingggris yang dipelajari. Kegiatan seperti ini misalnya dengan cara memperagakan atau menunjukkan perintah, ungkapan atau gambar – gambar yang diceritakan guru.
- Tahap early- production , anak diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan – pertanyaan sederhana yang diajukan oleh guru. Jawaban anak terdiri dari satu kata atau satu frase pendek.
- Tahap speech-emergent, anak sudah terlibat dalam kegiatan bermain peran (role play) dan permainan (games).
E. The Silent Way
Pendekatan lain yang dinamakan
Silent Way (SW), sebenarnya telah
dirintis pada tahun 1954 oleh perintisnya, Caleb Gattegno, tetapi buku pertama
yang membeberkan metode ini baru diterbitkan pada tahun 1963 dengan judul Teaching Foreign Language in Schools: The
Silent Way. Setelah mengalami berbagai experimen tambahan selama tiga belas
tahun, Gattegno menerbitkan buku lagi, The
Common Sense of Teaching Foreign Language, yang merinci dan merevisi
pemikiran dia semula.
Dengan latar belakang
pendidikan formal di bidang pendidikan matematika, Gattegno memulai karirnya
sebagai dosen ilmu eksakta dan bersama Georges Cuisenaire menulis Numbers in Colour di mana dipakai alat
peraga yang berupa potongan-potongan kayu yang berwarna-warni – istilahnya rods. Pengalaman dia di Etiopia mengajar
membaca dan menulis bahasa Amharik membuahkan buku lain Words in Color.
(1)
Prinsip-Prinsip Dasar
Meskipun di satu pihak
Gattegno memanfaatkan cara anak kecil menguasai bahasanya sendiri, di pihak
lain dia berkeras-pendapat bahwa penguasaan bahasa pertama, diistilahkan B1,
tidak sama dengan penguasaan B2, bahasa asing yang sedang dicoba dikuasainya.
Dari pengamatannya terhadap anak kecil yang sedikit demi sedikit memperoleh
bahasanya sendiri itu Gattegno berkesimpulan bahwa manusia diberkati dengan
suatu kemampuan untuk menggerakkan ”kekuatan dalam” lebih banyak daripada yang
kita sadari.
Konsekwensi dari pandangan ini
ada dua macam. Pertama, kita harus bisa menumbuhkan kesadaran akan adanya
kekuatan ini sehingga yang dulu dipakai untuk menguasai B1 kini bisa dipakai
lagi untuk B2. Cara untuk mencapai hal ini dilakukan antara lain dengan
membiasakan siswa mendengarkan melodi bahasa.
Konsekwensi kedua
adalah bahwa kita tidak boleh konsentrasi pada pengajaran tetapi pada
pembelajaran. Doktrin Gattegno adalah ”Subordination
of Teaching to Learning”. Dalam kebayakan hal, guru diwajibkan untuk lebih
banyak diam, kecuali waktu menyajikan bahan baru. Penanganan kelas dilakukan
dengan gerakan tangan, gelengan kepala, senyum, dan sebagainya.
Karena penguasaan
B1 tidak sama dengan B2 maka metode pengajarannya tidak mungkin yang natural.
Secara eksplisit Gattegno menyerukan agar metode yang dipakai itu metode yang
sangat artifisial dan sangat terkontrol. Materi pelajaran tentu saja disajikan
dengan media verbal, tetapi instruksi kepada siswa, koreksi kesalahan, dan
penanganan kelas dilakukan tanpa memakai bahasa.
Silent Way sangat membatasi kosakata yang disajikan. Pembatasan
seperti ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa siswa harus betul-betul
memanfaatkan daya kognisinya untuk ”mengutak-atik” jumlah kata yang sedikit
tetapi dicampur-campur dalam berbagai konstruksi yang berbeda-beda.
Untuk membantu
siswa menguasai materi yang diberikan, Gattegno memakai beberapa alat peraga:
(1) satu perangkat potongan kayu dengan ukuran dan warna yang berbeda, (2)
beberan fibel (fibel chart), (3)
beberan dinding (wall chart), (4)
pita rekaman, film, transparan, gambar, (5) tiga teks dan buku cerita, dan (6)
tiga antologi.
Ada beberapa
manfaat yang bisa dipetik dari alat peraga ini, antara lain, (a) pemakaian B1
bisa dihindari, (b) situasi-situasi linguistik yang sederhana bisa diciptakan
sehingga dapat dikotrol dengan ketat, (c) daya tangkap intelektual siswa dapat
dikembangkan dengan siswa menerka sendiri arti yang dimaksud oleh gurunya, (d)
perhatian guru tercurah pada ujaran siswa, termasuk lafal dan kelancaran ujaran,
dan sebagainya.
Beberapa fibel
berisi vokal dan kosonan. Untuk mendapatkan manfaat yang optimal yang terbesar
lebih baik dipakai dua beberan pada awal pelajaran: satu untuk B1 dan satunya
lagi untuk B2. Beberan dinding berbeda dengan beberan fibel. Dalam beberan
dinding dituliskan kata-kata yang fungsional.
Berbeda dengan
beberan metode yang lain, SW langsung menyajikan tulisan setelah atau malah
pada waktu latihan lisan. Ini dimaksudkan untuk membantu daya ingat siswa.
(2) Teknik Pelaksanaan Pengajaran
Pada hari pertama
guru mulai mengajar, dia membawa satu kotak potongan kayu berwarna. Dia
mengambil satu potongan yang merah dan pendek sambil mengucapkan, misalnya, layuka. Dia mengambil kayu merah lagi
yang agak panjang dan mengatakan layuka.
Dengan dua kayu dan satu kata ini siswa terpaksa menerka-nerka apakah layuka berarti potongan kayu atau warna
merah. Setelah guru kemudian mengambil kayu lain yang berwarna biru dengan
ukuran yang lebih panjang lagi dan dia mengucapkan kata layuka maka sadarlah para siswa bahwa layuka pasti berarti sebatang kayu, dan bukan warna merah.
Setelah beberapa
kali mendemonstrasikan contoh di atas, guru mengisyaratkan para siswa dengan
gerakan tangan dan mimik untuk menirukan. Kemudian secara individu siswa
diminta memberikan kata bagi kayu yang ditunjukkan.
Pada awal
pembelajaran hanya tiga kata kerja yang diberikan, misalnya, take, give, dan put. Kata-kata ini satu persatu diberikan dalam konteks peragaan.
Beberapa dinding dipakai untuk melatih ucapan. Dengan guru menunjukkan huruf-huruf
tertentu, yang masing-masing ada warna untuk ucapannya.
F.
Suggestopedia
Suggestipedia mulai dirintis pada musim panas pada tahun 1975 di
Bulgaria ketika sekelompok peminat di Institut Penelitian Pedagogy di bawah George Lozanov melakukan
penelitian mengenai pengajaran bahasa asing. Sebagai seorang dokter dan
psikoterapis, Lozanov tentu saja memanfaatkan keahlian ilmunya untuk menangani
bidang-bidang lain yang menjadi minatnya. Di samping berbagai artikel, sumber
utama untuk metode ini adalah buku Lozanov Suggestopedia
and Outlines of Suggestopedy yang pertama-tama diterbitkan tahun 1978 dan
dicetak ketiga kalinya tahun 1982.
(1) Prinsip-Prinsip Dasar
Sebagai landasan
yang paling dasar dan paling bawah untuk SP adalah Suggestology, yakni, suatu konsep yang menyuguhkan suatu pandangan
bahwa manusia bisa diarahkan untuk melakukan sesuatu dengan kita memberikan
sugesti. Pikiran harus dibuat setenang mungkin, santai, dan terbuka sehingga
bahan-bahan yang merangsang saraf penerimaan bisa dengan mudah diterima dan
dipertahankan untuk jangka waktu yang lama.
Dalam bidang
pengajaran bahasa suasana tenang ini dicapai dengan memakai berbagai cara,
salah satu diantaranya adalah yoga. Pada saat sebelum siswa mulai tiap
pelajaran, siswa diminta untuk melakukan yoga yang tujuan utamanya adalah untuk
menghimpun kemampuan yang hipermnestik yakni, suatu kemampuan ”supermemory” yang luar biasa.
Di samping
perlunya menggali hypermnesia ini, kita memerlukan suatu atmosfir fisik yang
mendukung proses belajar-mengajar. Atmorfir ini diciptakan dengan pemilihan
ruangan yang kondusif terhadap proses pembelajaran. Pada tiap pelajaran
diberikan pula latar belakang musik yang sesuai dengan jiwa bahan yang
diberikan. Baik yoga, ruang, dan musik ini semuanya dimaksudkan untuk
menenangkan pikiran siswa sehingga bisa dengan mudah menerima bahan yang
diberikan.
SP menekankan pada
penyerapan mental dari bahan pelajaran yang diterima, untuk kemudian
direnungkan, dicamkan, dan dipakai bersama siswa lain di kelas. Meskipun pada
dasarnya SP menekankan pemakaian hanya B2 di kelas, tetapi pada saat-saat yang
tepat B1 dipakai pula, terutama untuk menerangkan dan memberikan arti bagi
kata-kata yang baru.
Pada umumnya bahan
pelajaran diberikan dalam bentuk dialog yang sangat panjang. Dialog dalam SP
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) penekanan ada di kosakata dan isi, (2)
dasar pembuatan dialog adalah keadaan atau peristiwa hidup yang riel, (3) harus
secara emosional relevan, (4) memiliki kegunaan praktis, dan (5) kata-kata yang
baru diberi garis bawah dan disertai transkripsi fonetik untuk lafalnya.
G. Teknik Pelaksanaan Pengajaran
Karena atmosfir kelas harus
dijaga, maka jumlah siswa yang paling ideal adalah dua belas, lebih baik lagi
kalau enam pria dan enam wanita. Tiap siswa diberi nama dan peran. Tiap
pertemuan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama dipakai untuk mengulang
bahan pelajaran hari sebelumnya. Pada bagian kedua, guru menyajikan bahan baru
dalam bentuk dialog dan caranya tidak jauh berbeda dengan cara yang
tradisional; bahan disajikan dan diperagakan, diikuti dengan keterangan
kata-kata baru dan tata bahasa. Bagian ketiga adalah pertemuan yang tujuannya
untuk reinforcement bahan baru pada
taraf bawah sadar.
Pada bagian ketiga, para siswa
duduk-duduk dan menyantaikan diri mereka dengan postur duduk yang dinamakan
Savasana. Kegiatan pada bagian ini terdiri dari
dua macam, yang aktif dan yang pasif, dan kegiatan ini berlangsung
sekitar satu jam. Pada kegiatan aktif, siswa melakukan kontrol terhadap
pernapasan dengan ritme sebagai berikut: 2 detik pertama untuk tarik napas, 4
detik kemudian untuk tahan napas, dan 2 detik terakhir untuk istirahat. Proses
ini diualang-ulang selama 25 menit.
Pada dua detik tarikan napas
guru menyajikan bahan dalam bentuk B1 untuk memberikan siswa kesempatan
mengerti apa yang akan disajikan dalam B2. Pada detik ketiga sampai keenam
siswa menahan napas dan guru menyajikan bahan dalam B2. Pada saat ini siswa
boleh melihat buku teks dan mengulang secara mental bahan yang sedang
disajikan.
Bagian yang pasif dari bagian
yang ketiga berlangsung sekitar 20-25 menit. Pada saat ini siswa mendengarkan
suatu macam musik gaya baroque, yakni
bentuk musik yang berasal dari abad ke 17 yang penuh dengan ornamentasi dan
improvisasi dan efek-efek yang kontranstif. Para siswa menutup mata dan
memeditasi bahan yang diperdengarkan. Konser ini berakhir dengan bunyi seruling
yang cepat dan gembira sehingga tergugahlah para siswa dari meditasi mereka
masing-masing.
Daftar Rujukan
Christian M.P. Karmadevi dkk. 1996. Pandangan Behaviorisme terhadap
Pemerolehan Bahasa Pertama. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Irawan, Prasetya. 2005. Teori Belajar dan Motivasi. Jakarta:
Pusat Antar Universitas untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas
Instruksional Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi. Departemen Pendidikan
Nasional.
Juanda, Ahmad. 2007. You Can’t Learn Without Goofing. An Error
Analysis of Children’s Second Language Error. Paper Mata Kuliah Error
Analysis: PPs UNM.
Mulyasa. 2006. Menjadi Guru Profesional. Menciptakan Pembelajaran
Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurhadi & Senduk, Agus Gerrad. 2003. Pembelajaran Kontekstual
(Contextual Teaching and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK. Malang:
Universitas Negeri Malang.
Sumardi, Muljanto. 1992. Berbagai
Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
0 comments:
Post a Comment